Virtue Ethics Syed Muhammad Naquib Al Attas
oleh : Hisyam Ad-Dakhil
Etika adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan baik dan
jahat, baik dan jahat. Menurut Bertens , etika adalah ilmu yang membahas
tentang moralitas, atau adalah ilmu yang mempelajari perilaku moral. Etika
sering disebut sebagai dengan filosofi moral atau praktis. Namun, Kisah
menunjukkan bahwa konsep moral dan etika terus berkembang dalam budaya Barat.
Perubahan konsep nilai dalam Barat dimulai dengan diterimanya etika Gereja dan
berubah secara radikal hingga akhirnya Barat menghapuskan unsur metafisik dalam
etika moralnya.
Ketika membahas etika Barat sekuler, banyak yang mempertanyakan peran agama sebagai sumber otoritas moral. Menurut Graham, pertanyaan tentang agama sebagai sumber moralitas dan solusi atas masalah filosofis Barat terkait dengan tiga pertanyaan. Pertama, apakah Tuhan itu ada? Dan apakah itu jumlah dari berbagai kesempurnaan? Kedua, dapatkah Anda yakin dengan apa yang Tuhan ingin kita lakukan? Ketiga, jika kita mengetahui kehendak Tuhan, dapatkah Tuhan benar-benar memberi kita bimbingan yang lebih baik daripada filsafat "non-religius"? . Perdebatan terhadap agama sebagai sumber etika di Barat mencakup perdebatan tentang "masalah kejahatan" dan dilema "dilema Euthyphro".
Etika pada umumnya disamakan dengan filosof dengan filsafat moral. Etika yang kita ketahui berhubungan dengan masalah kebaikan dan kejahatan dan ketertiban yang ada dalam masyarakat. Namun, ulama juga membagi bentuk etika. Ada yang dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif, sementara yang lain dibagi menjadi etika normatif dan matematika. Klasifikasi ini tentunya berdasarkan konteks masyarakat dan berdasarkan pengalaman langsung para peneliti dan profesional penelitian. Dalam konteks filsafat Yunani kuno, etika telah berkembang sangat matang. Etika adalah ilmu, tetapi filsafat bukanlah bagian dari ilmu empiris. [1]Tapi apa yang biasa kita sebut sains berarti empiris. Singkatnya, sains berbasis fakta yang tidak pernah meninggalkan fakta etis adalah aspek lain dari filsafat moral.
Etika keutamaan (Virtue Ethics) adalah salah satu teori
etika yang berkaitan dengan pemikiran Aristoteles dalam etika Nicomachean,
yang kemudian diadopsi oleh para sarjana Islam. Beberapa ulama memiliki empat (4)
kebajikan utama dalam jiwa manusia:
kebijaksanaan (hikmah), keadilan (`adl), keberanian (Shaja`ah),
dan pertimbangan (`adl), dan timbang rasa (iffah), yang dari keempat nilai keutamaan ini diturunkan
menjadi nilai kebajikan. Imam Al Ghazali tidak menolak keempat nilai utama
tersebut, melainkan melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap ajaran Islam.
Al Ghazali melihat empat nilai filosofis sebagai titik tolak alamiah. Tentu di sini manusia hanya bisa
mencapainya dengan menggunakan unaided
reason (akal/rasio), yang nantinya bisa menjadi dasar untuk menata
nilai-nilai kebajikan.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas secara khusus membahas etika dalam bukunya Justice and the Nature
of the Human Soul. Konsep moral Al-Attas adalah Virtue Ethics
(karakter suci). Secara umum, konsep Virtue Ethics Al-Attas lebih dekat
dengan pemikiran Al-Ghazali dan menunjukkan beberapa perbedaan dengan ulama lain dalam cardinal virtues atau
nilai-nilai utama. Al-Attas percaya bahwa dasar moralitas adalah keadilan dan
kebijaksanaan. Hal ini karena kebenaran
dan kebijaksanaan berasal dari Asma-asma Allah SWT. Keadilan (`adl) dan
kebijaksanaan (hikmah) tidak dapat didefinisikan dalam istilah (hadd)
yang menunjukkan sifat esensialnya. Dari kedua nilai tersebut, terbentuklah
nilai-nilai lain, yakni keberanian dan
timbang rasa.
Konsep virtue ethics
muncul dari konsep manusia "hayawan natiq". Seperti
Al-Ghazali dan ulama lain yang telah
menerapkan nilai-nilai filsafat moral, Al-Attas berpandangan bahwa manusia
memiliki kemampuan atau kekuatan (quwah) yang terwujud melalui
hubungannya dengan tubuh. Jiwa mirip seperti sebuah genus yang terbagi menjadi
tiga jiwa yang berbeda, yaitu jiwa tumbuhan (al-nabatiyyah), jiwa
binatang (al-hayawaniyyah) dan jiwa manusia (al-insaniyyah) atau
jiwa rasional (al-natiqah). Jiwa tumbuhan memiliki fungsi sebagai sumber nutrisi, pertumbuhan dan
regenerasi atau reproduksi. Kekuatan jiwa binatang adalah perilaku (motivasi)
dan persepsi, sedangkan jiwa atau akal
manusia memiliki dua kekuatan, yaitu pikiran aktif (aktual) dan pikiran
perseptif. Pikiran aktif adalah yang mengatur gerakan tubuh manusia,
mengarahkan tindakan individu (sesuai dengan fakultas teori atau kecerdasan
kognitif), bertanggung jawab atas emosi manusia, mengatur objek material,
menghasilkan keterampilan dan seni, dan menciptakan. premis dan kesimpulan.
Kecerdasan kognitif adalah kekuatan jiwa yang menerima daya kreatif
ilmu pengetahuan melalui pikiran dan intuisi jiwa. Kekuatan kecerdasan
kognitif ini adalah spekulasi (nazariyyah).
Jiwa binatang menurut Al-Attas terdiri dari dua fakultas, yaitu
fakultas persepsi dan pola/motif. Motivasi terbagi menjadi dua, yaitu nafsu (desire)
dan amarah (anger). Keseimbangan sub-bagian nafsu akan memunculkan sifat
pertimbangan yang murni (virtue), dan sub bagian "marah" akan
memunculkan sifat murni (virtue) pemberani. Sifat (value) mulia
dari jiwa rasional adalah kecerdasan,
yang dihasilkan dari laporan teoretis dan praktis. Kekudusan tertinggi, yaitu
kebenaran, dicapai ketika ada keseimbangan antara semua jiwa.
Al-Attas juga mengemukakan bahwa objek penyucian jiwa adalah jiwa rasional (al-nafs
al-natiqah) dan kualitasnya diarahkan pada jiwa hewani sebagai jiwa penting
bagi tubuh (body) secara rinci. Secara umum, ulama Islam berpendapat bahwa kebijaksanaan
muncul dari keseimbangan fakultas
rasional jiwa, pertimbangan yang timbul dari keseimbangan fakultas keinginan
(fase keinginan/hasrat), ketika keberanian muncul dari keseimbangan fakultas
kemarahan.
Konsep “Virtue Ethics” dalam pemikiran Al-Attas ini sejalan
dengan para ulama Islam sebelumnya, namun Al-Attas lebih menekankan pada dua
nilai utama, yaitu kebijaksanaan dan akal. Menurut Al-Attas, kebijaksanaan dan
akal adalah nilai-nilai filosofis yang berakar pada agama atau wahyu.
Kebijaksanaan tidak dapat diperoleh dengan pilihan atau kecerdasan manusia tanpa bantuan wahyu, atau pembelajaran. Allah
akan memberikan hikmat hanya kepada orang-orang pilihannya. Namun, ada semacam
hikmah yang bisa diperoleh dengan belajar, yaitu dengan belajar dari orang
bijak dan mengajarkannya kepada mereka yang mencari ilmu sejati. Kebijaksanaan dan akal diperoleh
manusia melalui pengetahuan, yaitu melalui pengenalan fakta dan kebenaran.
Secara umum, Al-Attas berpendapat
bahwa kebijaksanaan adalah ilmu tentang batas-batas sejati suatu kebenaran.
Fungsi pikiran adalah: Pertama, untuk memberikan setiap kebenaran makna yang
tepat, tidak lebih, tidak kurang. Kedua, mengetahui tempat yang tepat dan
memutuskan objek pengetahuan yang tepat. Al-Attas menganggap kebijaksanaan
sebagai ilmu yang diberikan oleh Allah sehingga orang tahu tempat yang tepat
dan membuat keputusan yang tepat tentang lokasi objek pengetahuan. Setiap objek
ilmu pengetahuan memiliki batas kebenaran yang berbeda-beda, sehingga beberapa
objek ilmu pengetahuan lebih sulit untuk diidentifikasi dan ditemukan daripada yang lain, sehingga upaya
untuk menemukannya harus dipandu oleh kebijaksanaan.
Al-Attas berpendapat bahwa manusia
memiliki fitrah atau tendensi menuju
kebenaran dan tahu apa artinya menjadi benar bagi diri mereka sendiri untuk
bertindak sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Asal muasal politik dan
masyarakat menurut Al-Attas sebenarnya adalah kecenderungan kodrati manusia
terhadap apa yang benar sesuai dengan apa yang disebut hukum alam(law of
nature). Keadilan dapat diterapkan pada semua institusi dan perilaku,
tindakan manusia, juga dapat diterapkan pada karakter individu kapan saja dan
di mana saja.